December 30, 2011

Adakah Jalan lain

Ma'had Al-Kautsar
Ada dua pandangan pasif yang dapat melahirkan hasil seperti ini, serta mendorong dengan kuat dan benar hati-orang-orang yang memiliki ghiroah untuk beramal.
Pertama, bahwa sekalipun jalan ini sangat panjang, namun tidak ada jalan lain untuk membangun kebangkitan dengan benar. Pengalaman telah membuktikan kebenaran teori, “kerjakan kewajiban terlebih dahulu”
Kedua bahwa seorang pekerja harus bekerja untuk menunaikan kewajibannya terlebih dahulu, kemudian baru mengharap upah, dan yang ketiga mengharap manfaat. Karena itu, apabila ia telah bekerja, berarti ia telah menunaikan kewajiban,. Setelah itu ia pasti ia akan mendapat balasan dari Allah swt, jika syarat-syaratnya terpenuhi. Tinggal manfaat, ia adalah urusan Allah swt. Terkadang sebuha peluang datang secara tidak terduga, sehingga amal yang dilakukannya mendatangkan buah yang paling barakah. Sementara jika ia tidak beramal, maka ia medapat dosa pengabaian (kewajiban), kehilangan pahala jihad, dan terhalang mendapatkan manfaat (hasil), jadi, manakah diantara kedua golongan itu yang terbaik kedudukan dan perkumpulannya?
Al-qur’anul karim telah memberikan isyarat dengan jelas tentang hal itu dalam ayat yang mulia,
“dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata, “ mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”
Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab0 kepada Tuhanmua, dan supaya mereka bertakwa?” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpalkan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raf : 164-165) 

December 28, 2011

Surat Cinta Untuk Ummi

Ma'had Al-Kautsar

Ibu, saat semua orang tak mempercayai diriku
kau yang pertama kali meyakinkan diriku bahwa kubisa

Saat kuterpuruk dengan kesalahan dan kegagalan
kau yang selalu menyemangati dan memotivasi diriku

Umi, 
Saat kuterbaring lemas dalam kesakitan
kau yang mengobati dan menjagaku siang malam

Saat ku kedinginan dan ketakutan dalam gelapnya malam
kau yang menyelimutiku dengan belaian sayangmu
lalu kau bercerita indah sampai ku tertidur di pangkuanmu

Kini, 
Saat kuberanjak dewasa
berapa sering kutolak permintaanmu 
walau hanya sekadar membelikan sesuatu di warung
walau hanya sekedar memijit kakimu yang lelah seharian dengan pekerjaan rumah yang tiada habisnya

Saat kuberikan beberapa rupiah untukmu
serasa berjasa dan sudah menjadi anak soleh
padahal 23 tahun lamanya kau beriku makan
kau beriku pakaian, kau antarku sekolah, bahkan tak lupa kau beriku mainan

Sahabatku,
Berapa sering ayah dan ibu memberi hadiah saat kita milad dan mendapatkan prestasi,
namun sudah berapa kali kita memberi hadiah pada ibu?
Bahkan pada moment bahagianya, masih ingatkah kita?
Untuk hanya sekadar mengucapkan selamat dan melantunkan do'a-do'a cinta
Untuk sekadar mencium tangannya yang mulai keriput, atau bersimpuh di kakinya yang suci

Sahabat, 
Berapa usia ibu kita?
Kapan kita mau menghajikannya?
Kapan kita mau membuatkan rumah yang layak untuknya?
Kapan kita mau jadi anak soleh yang senantiasa mendoakannya?

Jangan sampai kita menyesal,
saat semuanya kita miliki 
tak ada ibu yang bisa mengecap kesuksesan dan keberhasilan dirimu

ah.. 
Ibu yang ikhlas itu tidak menuntut apa-apa
hanya ingin kita jadi anak soleh yang mendoakan dirinya

di hari Ibu yang indah ini,
mari peluk ibumu, doakan ia
yang jauh, teleponlah ibumu
mohonkan maaf dan doakan dirinya
yang telah berjasa membuatmu hadir di dunia dan seperti yang hari ini

Selamat hari Ibu, 
Untuk semua Ibu, Umi, Bunda di dunia kalian sangat istimewa
Untuk semua wanita yang kelak menjadi ibu
We love You Mom, cause Allah

December 15, 2011

Adakah Al Qur'an dalam hati kita

Ma'had Al-Kautsar
Rutinitas kerja dan kesibukan dunia yang tiada habisnya, sering menjadi penyebab dari hati yang kering, meranggas, dan gersang dari sumber mata air iman yang menyejukkan. Ibarat kafilah yang melintas di padang pasir dengan muatan harta yang berlimpah, ia menjadi tidak bernilai tatkala kehausan (dehidrasi) memenuhi sekujur raganya. Setetes air, yang tatkala dalam kondisi wajar harganya tiada seberapa, menjadi bernilai luar biasa dalam kondisi jiwa yang dirundung kegersangan tiada tara.
Itulah fitrah dari orang-orang beriman, yang senantiasa mendamba nilai-nilai yang mampu menyuburkan keimanannya. Itu pula yang dirasakan sekelompok Muslimah yang bekerja sebagai karyawati atau eksekutif di salah satu gedung perkantoran kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Di tengah kondisi berkecukupan karena manfaat (benefit) dari status karier yang dimilikinya, hati mereka sebenarnya tidak sepenuhnya tercukupi kebutuhannya. Jiwa mereka dahaga. Mereka mendamba keluasan hati laksana samudera, kesejukan jiwa laksana embun di pagi hari, dan kedamaian laksana bunyi debur ombak yang menentramkan jiwa.
Sebagai anggota komunitas yang menghuni kawasan perkantoran modern, para Muslimah itu tentu tidak ketinggalan informasi aktual khususnya menyangkut informasi keIslaman dan keimanan, baik berupa taujih, taushiyah, perenungan, tafakkur, atau kisah-kisah singkat yang sarat pesan dan inspirasi tentang bagaimana seharusnya mengelola kehidupan menuju ridha-Nya. Namun semua itu rasanya tiada cukup manakala mereka belum berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan sumber penawar dahaga keimanan, yaitu Al-Quran.
Sudah masyhur di tengah perbincangan mereka bahwa bagi yang membaca Al-Qur’an, maka satu huruf yang dibacanya berbalas dengan sepuluh kebaikan. Dan bukanlah “Alif Lam Mim” itu satu huruf, akan tetapi “Alif” satu huruf, “Lam” satu huruf, dan “Mim” satu huruf. Luar biasa, dengan membaca “Alif Lam Mim” saja, pembaca Al-Qur’an sudah mendapatkan tiga puluh kebaikan. Subhanallah. Ketakjuban terasa memenuhi relung jiwa mereka. Ini baru membaca saja. Apatah lagi jika memahami isinya dan apatah lagi jika ayat-ayat itu diamalkan dalam kehidupan nyata. Tentu, pribadi-pribadi yang dihiasi dengan nilai Al-Qur’an akan memancarkan kedamaian dan kesejukan yang luar biasa. Jiwanya penuh kebaikan. Dan kebaikan itu tidak melahirkan apapun selain kebaikan yang berlipat.
Sungguh indah gambaran seorang pembaca Al-Qur’an, pohonnya bagus dan buahnya wangi. Itu adalah balasan Allah di dunia. Dan di akhirat Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi pembacanya sehingga ia terhindar dari jilatan api neraka yang menyala-nyala. Sekelompok Muslimah itu jelas tersentuh mendengar kabar gembira ini, dan motivasi untuk segera mewujudkannya semakin membesar dan menggelora di dada.
Langkah pertama yang dilakukan mereka adalah menghubungi guru tahsin Al-Quran di kawasan Bekasi. Mereka mengemukakan hasrat keinginan belajar baca Al-Qur’an kepada guru itu. Ada sedikit kegamangan dari para guru untuk memenuhi keinginan sekelompok Muslimah di gedung perkantoran itu karena lokasinya yang cukup jauh. Jika yang harus berangkat adalah seorang guru laki-laki, barangkali lokasi yang jauh tidak cukup bermasalah. Bagi guru Muslimah yang harus memfokuskan diri pada tugas-tugas kerumahtanggaan, hadir ke lokasi yang jauh cukup terasa memberatkan. Tidak sekedar dibutuhkan waktu dan energi yang cukup besar yang boleh jadi tidak sebanding dengan honor yang akan diterima, guru Muslimah itu boleh jadi lebih nyaman mengajar di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, sehingga masih bisa memantau keadaan anak-anak yang diasuhnya.
Syukurlah, ada seorang guru yang menaruh perhatian kepada mereka. Bagi sang guru itu, keinginan belajar dari sekelompok Muslimah di perkantoran itu ibarat benih yang harus dipelihara dan disediakan media pertumbuhannya. Alangkah sayangnya jika benih itu dibiarkan mati sebelum ditanam. Dakwah harus ditegakkan. Dakwah yang sejatinya adalah menumbuhsuburkan kebaikan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, memang membutuhkan pengorbanan yang tiada kecil dari para pelakunya.
Langkah kedua setelah mereka mengetahui bahwa keinginan mereka bakal terwujud, mereka segera berkoordinasi menyediakan waktu luang dan menyediakan tempat yang memadai untuk belajar baca Al-Qur’an. Mereka berpatungan untuk mendukung operasional kegiatan. Layaknya organisasi mereka membentuk ketua, bendahara, dan sekretaris. Pengetahuan organisasi yang mereka miliki, mereka terapkan guna kelancaran dan keberhasilan proses belajar dan mengajar.
***
Tidak semua upaya yang dilakukan oleh beberapa kelompok Muslimah untuk menghadirkan guru tahsin menemukan kemudahannya. Bagi sekelompok Muslimah di perkantoran itu, bisa mendatangkan seorang guru untuk hadir ke kantor menyambangi mereka adalah satu hal yang patut disyukuri. Pertama, pertimbangannya tentu karena untuk datang sendiri-sendiri ke lembaga tahsin pada hari Sabtu atau Ahad, bagi mereka adalah suatu pekerjaan yang teramat berat karena mereka merasa harus siaga di rumah mendampingi suami dan anak-anak, sebagai kompensasi ketidakhadiran mereka pada hari-hari lainnya akibat bekerja di kantor.
Kedua, mereka menemukan guru yang mau membimbing mereka karena dorongan kecintaan untuk menyebarkan nilai-nilai Qur’an. Meski dirasakan cukup berat, Sang guru itu berkomitmen melangkahkan kaki ke gedung perkantoran guna mengajari ibu-ibu dan para Muslimah yang dahaga dengan bacaan Al-Qur’an. Kadang untuk pergi ke sana, sang guru tidak segan menumpang taksi untuk mengejar ketepatan waktu pembelajaran. Terkadang pula, sang guru harus berhimpit-himpitan beberapa kali naik moda transportasi, menahan lelah akibat mengurus anak-anak sebelumnya dan berjuang melawan asap rokok dan debu-debu yang beterbangan di sekelilingnya. Ya, kondisi badannya memang rentan. Tetapi kecintaan kepada ibu-ibu dan kaum Muslimah yang mendamba oase iman dari lautan kalam Ilahi itu, menjadikannya harus melupakan kondisi berat yang kadang dijumpainya.
Ketiga, mereka mendapatkan guru bukan sembarang guru. Tetapi guru dari lembaga tahsin tepercaya, yang telah memiliki kurikulum baku dalam pengajaran baca Al-Qur’annya.
Menyadari keberuntungan-keberuntungan itu, mereka pun berlatih dengan keras dan berdisiplin. Alhamdulillah, dalam jangka waktu tidak lama, mereka pun mampu membaca Al-Quran secara baik.
***
Sebagian besar ummat Islam saat ini, tidak dipungkiri, memiliki tingkat kedekatan yang rendah dengan Al-Qur’an. Jangankan berbicara masalah penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan, pemahaman akan isi dan kandungan Al-Qur’an sebagian besar ummat Islam pun masih terasa sangat kurang. Terbukti makin merebaknya aliran-aliran sesat yang menyusup di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Terlepas apakah merebaknya aliran sesat itu adalah wujud konspirasi atau bukan, seharusnya fenomena-fenomena itu menyadarkan seorang Muslim untuk lebih dekat kepada sumber agamanya. Salah satunya dengan belajar dan berlatih berinteraksi lebih dekat dengan Al-Qur’an, yang dimulai dengan interaksi dengan cara belajar membacanya.
Betapa banyak orang mengaku tidak bisa membaca Al-Qur’an, tetapi tidak banyak yang menindaklanjuti dengan membentuk kelas pengajaran seperti dilakukan oleh para Muslimah di perkantoran itu. Betapa banyak orang yang mengaku dahaga dan jiwanya kering, tetapi mereka malah hanyut dengan lagu-lagu “ruhani”, bukan berinteraksi sedekat-dekatnya dengan Al-Qur’an penyubur jiwa.
Tidak semua orang bisa peduli dengan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an adalah salah satu pusaka (selain Al-Hadits) yang mampu menyelamatkan kehidupan manusia, baik di dunia ini maupun sesudahnya, dari malapetaka dan mara bahaya. Tidak semua orang bisa menghadirkan nilai-nilai Al-Qur’an di relung jiwa. Hanya mereka yang berhati bersih dan ikhlas saja lah yang mampu melakukannya.
Ada baiknya setiap hamba bertanya kepada diri masing-masing “sudah adakah Al-Qur’an dalam hatiku?” Ya, sebab jika bukan Al-Qur’an yang ada dalam hati, berarti ada nilai-nilai non-qur’ani yang bersarang dan mendominasi jiwa, yang boleh jadi bukan menuntun akan tetapi menyesatkan sang hamba dari jalan kebenaran.
Nampaknya, kita perlu belajar dari kaum Muslimah dalam kisah tersebut yang berusaha memenuhi relung jiwanya dengan Al-Qur’an. Meski baru hendak belajar membacanya, hal Itu adalah awal mula yang sangat baik, sebab hanya dengan belajar kesuksesan dunia atau akhirat pun bisa diraih dan dikejar.
Waalahua’lamu bishshawaab.