January 13, 2012

Sejarah Munculnya Nama Pesantren

Ma'had Al-Kautsar
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu.

Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia,sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India (Karel A Steenbrink, 1986)
Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisioanal di Indonesia  lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir.
Kata pesantren sendiri berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor (Zamakhsari;1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.
Pondok, Masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.
Mengapa pesantren dapat survive sampai hari ini Ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional peserti pesantren di Dunia Islam tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau modernitas sistem pendidikannya.
Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan.
Disamping itu, bertahannya pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat sendiri. Dimana hampir semua Universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga bila kita tidak pernah dijajah, kebanyakan pesantren tidak akan berada jauh terpencil di pedesaaan seperti kita lihat sekarang.
Dari keterangan sederhana ini saja kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian. Gambaran konkretnya dapat dianalogikan sebua pesantren Indonesia (ambil sebagai misal Tebuireng) sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat (ambil sebagai missal "pesantren" yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat Boston): Tebuireng menghasilkan apa yang dapat dilihat oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dan pesantrennya Pendeta Harvard telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika modern. (Nurcholish Majid, 1997).
Kini di tengah-tengah sistem Pendidikan Nasional yang selalu berubah-rubah dalam jeda waktu yang tidak lama, apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan,Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap. Atau misalnya pesantren yang muncul pada tahun 1980-an seperti Pesantren Darun Najah, Cianjur, dan Ashidiqiyah di Jakarta; Pesantren Nurul hakim, al-Kautsar, Darul Arafah di Medan,mustafawiyyah Purba Baru di Mandiiling-Natal dan ada disekitarnya sekarang,Darul Hadits Hutabaringin,Darul Ikhlas di Dalan-lidang,dan Pesantren Muara Mais, Darul Hikmah di Pekan Baru dll

January 11, 2012

Tarbiyah Itu Melejitkan Potensi

Ma'had Al-Kautsar
Tarbiyah Islamiyah adalah proses penyiapan manusia yang shalih agar tercapai keseimbangan potensi, tujuan, ucapan, dan tindakannya secara keseluruhan. Visi tarbiyah mencetak kader Rabbani dengan sepuluh karakteristik yang kita sudah ketahui bersama. Singkat kata tarbiyah ingin membentuk generasi unggul seperti para sahabat terdahulu yang berhasil membangkitkan Islam pada awal berdirinya.
Di rumah Abu Abdillah Al Arqam bin Abi Al Arqam para sahabat biasa mengikuti halaqah yang langsung ditangani oleh Rasulullah saw. Begitu pun tarbiyah, halaqah adalah fondasi dasar pembentukan kader-kader unggul.
Dalam berbagai teori kesuksesan Barat, menjadi sukses memerlukan coach. Dalam Halaqoh pun peran murabbi sangat sentral untuk mengimplementasikan manhaj pembinaan pada kader-kader dalam lingkaran halaqahnya. Pada proses awal halaqah, di saat seseorang baru berkenalan dengan Islam yang universal akan terjadi kecenderungan perubahan radikal pada dirinya, tak jarang polah tingkahnya pun menjadi radikal. Namun hal itu masih dalam batas yang wajar, dalam proses selanjutnya akan terjadi pendewasaan dan pematangan ideologis dalam diri kader tersebut.
Dalam perjalanannya banyak muncul fenomena figuritas kader terhadap murabbi atau anggapan bahwa halaqah adalah segalanya, itu biasa terjadi dan solusi terkait pun sudah banyak. Namun ada beberapa fenomena lain yang berkembang dari perjalanan halaqah kini, yaitu seputar karakter kader yang terbentuk, di antaranya berpikiran sempit dan tak bervisi serta macam-macam karakter tak unggul lainnya yang menggambarkan tak kunjung matang dan dewasanya sebuah proses ideologisasi. Padahal seharusnya tarbiyah mampu merubah pecundang menjadi pemenang dan dapat memunculkan potensi yang terpendam.
Apa penyebabnya? Tak lain karena peranan tarbiyah dzatiyah yang tak mereka punyai dalam diri. Bagaimanapun tarbiyah dzatiyah atau pengalaman belajar mandiri justru memiliki peranan besar dalam proses pembinaan kader itu sendiri.
Kesadaran akan pengalaman belajar mandiri ini yang harusnya dipantik dalam proses halaqah dan di sinilah sejatinya peran seorang murabbi sebagai coach. Murabbi harus berperan sebagai fasilitator dalam melejitkan potensi binaannya, bukan hanya memutabaah ibadah yaumiyah dan komitmen berjamaahnya saja. Hal ini yang menyebabkan terkekangnya potensi kader.
Sebuah refleksi untuk para murabbi termasuk saya, sudahkah kita membuat visi halaqah binaan kita? Jika sudah, apakah visi tersebut dijiwai sebagai acuan dalam proses pembinaan atau tidak? Gagal berencana sama saja merencanakan kegagalan. Tak ada visi dalam halaqah yang pada akhirnya menjadi penyebab tumpulnya potensi kader, karena Tarbiyah itu melejitkan potensi bukan mengekang.