February 17, 2012

Pelantikan Anggota BSMR MA Al-Kautsar

Ma'had Al-Kautsar
Jum'at (18/02) bertempat di Ma'had Al-Kautsar banjar, sedang dilaksanakan acara pelantikan anggota baru Bulan Sabt merah Remaja angkatan ke 6 Ikhwan. Acara yang waib diikuti oleh seluruh kelas X ini dimulai tadi siang sekitar pukul 13.00 setelah sholat Jum'at.

Dimulai dengan upacara pembuaan oleh Pembina BSMR ustad Rizky fauzi, S.Pd.I, dalam sambutannya beliau menyampaikan agar peserta mampu menjadi seorang anggota BSMR yang taat terhadap Pemimpinnya dan senantiasa menjunjung tinggi Bulan Sabit Merah Remaja di Kota Banjar.

Setelah dilaksanakan upacara pembukaan, para peserta harus menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk menuju lokasi kegiatan. Mereka berangkat dengan regunya masing-masing. 

February 15, 2012

Jadwal Kegiatan Penerimaan Santri Baru

Ma'had Al-Kautsar
INFORMASI PENDAFTARAN SANTRI BARU
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Syarat Pendafataran :
ü  Calon santri baru lulusan SD/MI, SMP/MTs
ü  Fhoto Copy Ijazah dilegalisir (2 lembar, bisa menyusul)
ü  Fhoto Copy SKHUN dilegalisir (2 lembar, bisa menyusul)
ü  Pas Photo hitam putih ukuran 2x3, 4x3 (5 lembar)
ü  Fhoto copy KTP Orangtua/wali (2 lembar)
ü  Fhoto Copy KK (2 lembar)
ü  Surat Keterangan Kelakuan Baik dari sekolah asal
ü  Membayar biaya pendaftaran RP. 50.000
ü  Mengisi formulir pendaftaran
Ket : Semua berkas dimasukan kedalam map biru untuk putra dan merah untuk putri.
Jadwal Kegiatan PSB :
Gelombang I
Gelombang II
Pendaftaran
:
1 Februari - 30 Maret 2012
Pendaftaran
:
10 April – 27 Mei 2012
Tes Masuk
:
2 April 2012
Tes Masuk
:
28 Mei 2012
Pengumuman
:
3 April 2012
Pengumuman
:
29 Mei 2012
ü  Daftar Ulang                           : 30 Juni 2012
ü  Santri Masuk Pesantren          : 1 Juli 2012
ü  MOPD                                    : 2-8 Juli 2012
ü  Mulai Pembelajaran                 : 10 Juli 2012
ü  Tes masuk meliputi tes tertulis (B. Indonesia, B. Arab, B. Inggris, Matematika dan Agama) dan Tes Lisan (Al-Qur’an dan wawancara)
Syarat Daftar Ulang :
ü  Setelah dinyatakan lulus dan diterima sebagai santri
ü  Menandatangani surat perjanjian antara pesantren dan wali santri
ü  Melunasi seluruh biaya pendaftaran
Rincian Biaya Pendaftaran :
No
Rincian
MA
MTs
1
Sumbangan Pendidikan
Rp. 1.000.000
Rp. 750.000
2
Seragam*
Rp. 800.000
Rp. 780.000
3
MOPD
Rp. 80.000
Rp. 75.000
4
Buku Raport
Rp. 30.000
Rp. 30.000
5
Buku Peraturan
Rp. 10.000
Rp. 10.000
6
SPP Bulan Juli
Rp. 280.000
Rp. 200.000
7
Beras Bulan Juli
15 Kg
15 Kg
Jumlah Total
2.200.000+15 Kg
1.845.000+15 Kg
*) seragam terdiri dari : 1 stel seragam putih abu, 1 stel batik, 1 stel seragam pramuka, 1 stel seragam ma’had, 1 stel seragam olahraga, 1 jas pesantren.
Info lebih lanjut silahkan hubungi :
Telp : 0265-743338
HP :085222509900, 085223613045, 082118264400

February 12, 2012

Membudayakan "Jazakallah Khairan"

Ma'had Al-Kautsar

"Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, dia tidak berterima kasih kepada Allah." Kalimat ini adalah terjemahan dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya. 

مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ

Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, dia tidak berterima kasih kepada Allah (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani)

Ada hadits lain yang senada dengan hadits di atas, yang juga berderajat shahih.


لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak bersyukur kepada Allah, siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al-Albani)

Diantara bentuk paling mudah dari berterima kasih adalah melalui ucapan. Minimal, melalui ucapan itulah seseorang berterima kasih kepada orang lain atas kebaikan yang telah ia berikan. Baik kebaikan itu berupa pertolongan, pemberian, maupun dukungan baik materi maupun non materi.

Membudayakan berterima kasih, dengan demikian adalah salah satu ajaran Islam. Namun, bagaimana ucapan terima kasih yang terbaik?

Rasulullah SAW menjelaskan dalam haditsnya :


مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barangsiapa diperlakukan baik oleh orang lain kemudian ia berkata kepadanya "jazaakallah khairan" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Tirmidzi, Al Albani berkata: "shahih")

Dalam hadits lain disebutkan :


إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ : جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Jika seseorang berkata kepada saudaranya "jazaakallah khairan" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka ia telah memujinya dengan setinggi-tingginya. (HR. Thabrani, Al Albani berkata: "shahih li ghairihi")

Demikianlah, jazakallah khairan adalah ungkapan terima kasih terbaik karena ia merupakan pujian tertinggi kepada saudara kita atas kebaikan yang telah dilakukannya. Ucapan jazakallah khairan itu juga merupakan doa baginya.

Bagaimana jika yang melakukan kebaikan itu adalah akhwat, mengingat "jazakallah khairan" adalah untuk ikhwan? Untuk akhwat adalah "jazakillah khairan". Jadi huruf "kaf" dikasrah. Pada ikhwan (bentuk mudzakkar) huruf "kaf" difathah.

Penggunaan "jazakillah khairan" ini seperti yang tercantum dalam hadits shahih Bukhari ketika Usaid bin Hudhair berterima kasih kepada Aisyah :


فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ لِعَائِشَةَ جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا ، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا

Sedangkan jika ucapan itu ditujukan kepada banyak orang (jamak) maka ia berubah menjadi "jazaakumullah khairan."

Terkadang kita jumpai, sebagian orang mengucapkan "jazakallah". Itu sebenarnya tidak lengkap karena artinya adalah "semoga Allah membalasmu". Kalau lengkap "jazaakallah khairan" artinya adalah "semoga Allah membalasmu dengan kebaikan." Kadang ada juga yang ditambahi "jazaakallah khairan katsiiran" artinya adalah "semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak." Seyogyanya kita menghindari "jazaakallah khair" karena dalam gramatikal Arab artinya menjadi tidak jelas: "semoga kebaikan membalasmu dengan Allah."

Lalu bagaimana jika orang lain yang mengucapkan "jazaakallah khairan" kepada kita? Bagaimana jawaban "jazaakallah khairan" itu?

Sayangnya, dalam hadits tidak disebutkan jawaban dari jazakallah khairan, termasuk tidak disebutkan jawaban Aisyah ketika Usaid bin Hudhair mengucapkan jazakillah khairan kepadanya.

Sebagian ulama menjelaskan, memang tidak ada kesunahan jawaban tertentu untuk ucapan "jazakallah khairan." Sebagian ulama mempersilakan menjawab "amin" karena pada dasarnya "jazakallah khairan" adalah doa. Ada juga ulama yang mempersilakan menjawab dengan "afwan" karena ucapan "jazakallah khairan" itu adalah ucapan terima kasih (bentuk tertinggi pengganti "syukran"). Ada juga yang menggunakan "waiyakum" dengan maksud mendoakan kembali orang yang mengucapkan "jazakallah khairan."

Wallaahu a'lam bish shawab
. Yang pasti, membudayakan "jazaakallah khairan" adalah lebih baik daripada "syukran" atau "terima kasih", khususnya diantara sesama ikhwah atau aktifis dakwah yang sama-sama mengerti tentang maksud dan dalilnya. Kepada masyarakat umum, tentu yang ideal adalah mengkomunikasikan dan mendakwahkan agar mereka mengerti. Tidak langsung memaksakan penggunaannya hingga menimbulkan kebingungan. [] 



Dikutip dari : www.bersamadakwah.com

Akademisi Miskin Karya Tulis, Tanya Mengapa?

Ma'had Al-Kautsar
Akademisi Miskin Karya Tulis, Tanya Mengapa?‘Nyerat atawa sakarat’ (Sunda), judul tulisan yang membetot perhatian saya. Tulisan ini saya baca & kunyah maknanya di tahun 2005 silam. Ungkapan kegelisahan tergurat jelas di balik isi tulisan ini. Si empunya tulisan, Prof. A. Chaidar Alwasilah (Guru Besar Bahasa di Universitas Pendidikan Indonesia) memang rajin menyoroti persoalan lemahnya budaya literasi masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan akademisi. 

Pada pidatonya dalam pengukuhan guru besar tetap dalam bidang pendidikan bahasa & sastra, ‘Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Menulis’, saya mendapatkan pula banyak pencerahan dari Prof. Alwasilah tentang pentingnya membangun budaya baca tulis di kalangan akademisi. 

Bagi saya, sampai kapan pun, wacana soal yang satu ini tetap menarik. Tulisan ini sendiri lahir dari proses ‘mengikat makna’ dari 2 tulisan Prof. Alwasilah yang sangat memengaruhi cara berpikir saya tentang dunia tulis-menulis.

Semuanya menjadi semakin menarik ketika saya mendapatkan kiriman email dari seorang kolega, dosen di salah satu universitas di Aceh Utara, beberapa hari lalu. Isi surat tertanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani Direktur Jenderal Dirjen Dikti Kemdikbud itu mengabarkan informasi yang amat penting perihal publikasi karya ilmiah. Bukan sekedar untuk dibaca, tapi harus ditindaklanjuti para rektor/ketua/direktur PTN/PTS di seluruh Indonesia. 

Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti. Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. 

Mari simak secara cermat pernyataan di bagian pembuka surat, “Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh”. Oh, itu ternyata hal utama dibalik munculnya surat edaran dari Dirjen Dikti.

Ini bukan perkara biasa. Sayang, tak semua orang menganggap penting hal ini. Akademisi tak terampil berkarya tulis, sungguh sebuah ironi. Harus ada upaya luar biasa yang mesti dilakukan agar budaya baca tulis marak di masyarakat kampus. Produktivitas dalam berkarya tulis idealnya menjadi ciri khas dari kehidupan masyarakat ilmiah di lingkungan kampus.

Dalam konteks kekinian. Kita tidak perlu malu mengakui, kaum intelektual Indonesia belum produktif berkarya tulis. Mau bukti? Di Malaysia, rata-rata per tahun terbit sekitar 6.000 sampai 7.000 judul buku baru. Sementara di Indonesia baru terbit sekitar 4.000 sampai 5.000 judul buku baru. 

Ironisnya, hal ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih besar 10 kali lipat dari jumlah penduduk Malaysia. Idealnya, 60.000 judul buku baru setiap tahunnya muncul di pasaran, buah pemikiran dari 61.889 dosen berkualifikasi magister & 12.081 dosen berkualifikasi doktor di PTN & PTS seluruh Indonesia. Dengan perhitungan seperti itu, untuk mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia harus menulis satu buku setiap tahunnya.

Hal lainnya yang menarik, banyak pelamar beasiswa yang mayoritas dosen PT Se-Indonesia tidak mampu menulis proposal penelitian atau rencana studi mereka. Banyak juga di antara mereka yang tidak diterima di PT di Amerika Serikat karena ketidakmampuan menuliskan tujuan studi secara cermat. Hal ini terungkap dari hasil wawancara Prof. A. Chaidar Alwasilah dengan Direktur IIEF.

Bagaimana dengan produktivitas menulis para mahasiswa di Indonesia? Hampir bernasib sama dengan para dosennya, memprihatinkan. Prof. Alwasilah dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 16 responden etnografis (mahasiswa S1, S2, S3) di kampus Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, mayoritas responden menilai bahwa pendidikan nasional Indonesia tidak membekali (maha)siswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis (68%), & menulis paper merupakan tugas akademik yang paling sulit (75%). 

Perhatikan pula hasil survei terhadap 111 mahasiswa semester 1 sebuah PTS di Bandung. Hasil survei membuktikan bahwa potret pengajaran bahasa Indonesia lebih didominasi pengajaran teori berbahasa ketimbang penguasaan keterampilan berbahasa. Hanya 9,6% guru yang mengajarkan praktik menulis. Selebihnya, 20,4% guru mengajarkan teori tentang menulis, 24,7% mengajarkan tata bahasa, serta 76% mengajarkan ejaan, pembentukan kata, dan kosa kata. Sulit untuk membantah sindiran orang yang suka bilang, “Ah, kebanyakan teori”.

Cara berpikir yang paling sesat & berbahaya adalah menganggap pelajaran bahasa Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mengakomodasi kebutuhan akan keterampilan menulis. Mengganti nama mata kuliah bahasa Indonesia menjadi menulis akademik di kampus adalah ide brilian yang digagas Prof. Alwasilah. Harapannya, dosen & mahasiswa dapat memahami esensi dari mata kuliah menulis akademik. Konsekuensinya, dosen yang mengajar mata kuliah ini harus benar-benar ahli di bidang spesialisasinya. 

Yang paling penting, bisa memberikan inspirasi & keteladanan karena produktivitasnya dalam berkarya tulis, bukan hanya sekadar ahli teori bahasa yang tak pernah mempublikasikan tulisannya. Hingga hari ini, saya masih ingat apa yang pernah dikatakan beliau sewaktu berjumpa di satu kesempatan seminar, “Belajarlah menulis dari para penulis, jangan pada ahli bahasa saja”.

Dalam konteks pengembangan budaya menulis di kampus, maka penulisan skripsi, tesis, & disertasi mutlak harus tetap dipertahankan, bahkan ditingkatkan kualitasnya. Tak hanya sekadar ada produk karya tulisnya yang bertumpuk di gudang perpustakaan. Namun dari segi manfaat, mestinya punya andil besar dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan di kalangan masyarakat luas. 

Mari cermati hasil penelitian di Fakultas Pendidikan Bahasa & Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia, ikhwal penulisan skripsi. Melalui penulisan skripsi, mahasiswa mengaku semakin memahami teori-teori yang ada (57,14%), meningkatkan kemampuan berpikir kritis (30,91%), dan meningkatkan kemampuan menulis akademik (29,09%).

Jangan pernah terlintas sedikit pun dalam pikiran, pemahaman ikhwal studi menulis tidak berhubungan dengan pengembangan bidang ilmu yang sedang kita tekuni. Semua ilmu dapat semakin berkembang melalui aktivitas tulis-menulis. Biar para akademisi kita tak malu mengaku sebagai orang terdidik —meski tak ada jaminan orang lulus sekolah atau lulus kuliah jadi semakin terdidik--, maka secara mutlak mereka harus memiliki kemampuan menulis. Jangan pernah mengaku seorang yang literat atau terdidik jika tak punya kemampuan membaca & menulis (Webster’s New Collegiate Dictionary). Karena orang yang terampil membaca & menulis, merekalah orang terdidik yang sesungguhnya.



Asep Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa

Mengikis Budaya Konsumtif

Ma'had Al-Kautsar
REPUBLIKA.CO.ID,   Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Mengikis Budaya Konsumtif 
Menurut sejumlah cendekiawan, budaya konsumerisme yang mewabah saat ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. Masyarakat seakan-akan berlomba untuk menjadi manusia konsumtif.

Perilaku inipun  tidak terlepas dari peran media massa. Iklan-iklan televisi, radio, media cetak termasuk iklan outdoor seakan-akan menghipnotis kita untuk masuk dan menjadi manusia konsumtif, lebih-lebih pembangunan fasilitas pembelanjaan diseluruh kota bertujuan untuk  memanjakan masyarakat untuk berbelanja.

Tidak percaya, coba nyalahkan televisi, dipastikan kita hampir setiap hari akan melihat tayangan-tayangan iklan beraneka ragam guna menawarkan sebuah produk yang diproduksi, mulai sandang, pangan, hingga kartu telepon seluler sekalipun, termasuk hiburan seperti sinetron, musik,  dan humor. Itu tidak lepas dari dukungan sponsor. Melalui iklan di media cetak maupun elektronik berbagai komoditas yang diproduksi dan dilempar ke ranah pasar.

Tanpa kita sadari, masyarakat selalu diposisikan sebagai konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis. Perkembangan kapitalisme global membuat, bahkan memaksa masyarakat pada suatu kondisi dimana seolah-olah ‘hasrat’ mengkonsumsi lebih diutamakan.

Nafsu manusia memang seperti air. Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita tidak bisa menahannya. Ada baiknya kita mendengarkan kisah Khalifah Umar bin Khathab. Suatu ketika Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.

Dari kisah ini memberi pelajaran bahwa seorang pemimpin itu tentunya agar berpola hidup sederhana dan sesungguhnya dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW pernah bertutur,  “Berhentilah kamu makan sebelum kenyang.” Artinya pola hidup konsumtif yang berlebihan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

February 11, 2012

Jika Hidupmu Terasa Sepi

Ma'had Al-Kautsar
Jika hidupmu terasa sepiKeluarlah dan lihatlah dunia
Senyumnya penuh warna, ceria , merekah, indahnya
Walau ketidakpastian senantiasa memburunya

Jika hidupmu terasa sepi
Lihatlah, sang surya begitu semangat menyapa alam raya
Walau awan tebal, bergumal, beringsut menyeka sinarnya

Jika hidupmu terasa sepi
Sobat, aku disini
Sertai langkahmu menggapai cita
Bersama menempa diri, berebut prestasi
Lukiskan seketsa wajah, dalam mimpi
Menjadi: Aku , diriku Kamu, dirimu
Dia, dirinya Mereka adalah kita
kita dulu, kini dan nanti
meniti langkah bersama
dalam genggaman erat tangan-tangan kita
menghalau gelombang , tegarnya
lempar- melempar senyum nan mesra
berbisik……….aku ada disini…..disini……
bersamamu………..sepi…….
Jika hidupmu terasa sepi
Keluarlah dan lihatlah dunia
Senyumnya penuh warna, ceria , merekah, indahnya
Walau ketidakpastian senantiasa memburunya

Jika hidupmu terasa sepi
Lihatlah, sang surya begitu semangat menyapa alam raya
Walau awan tebal, bergumal, beringsut menyeka sinarnya

Jika hidupmu terasa sepi
Sobat, aku disini
Sertai langkahmu menggapai cita
Bersama menempa diri, berebut prestasi
Lukiskan seketsa wajah, dalam mimpi
Menjadi: Aku , diriku Kamu, dirimu
Dia, dirinya Mereka adalah kita
kita dulu, kini dan nanti
meniti langkah bersama
dalam genggaman erat tangan-tangan kita
menghalau gelombang , tegarnya
lempar- melempar senyum nan mesra
berbisik……….aku ada disini…..disini……

bersamamu………..sepi……


Oleh : Sulaeman (Angkatan  I)