February 20, 2013

Mendidik atau Menyesatkan?

Ma'had Al-Kautsar
dakwatuna.com - Dua ibu muda bertengkar hebat di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak. Perang mulut yang berlanjut adu otot itu bermula ketika anak-anak mereka bermain lempar-lemparan tas, yang menyebabkan salah satunya menangis.
Seorang ibu yang kepala anaknya sedikit benjol akibat lemparan tas berisi buku itu merasa tidak terima. Dia lalu mengumpat ibu dari anak pemilik tas. Adu mulut terjadi. Umpatan berbalas umpatan, hingga emosi kedua belah pihak meledak. Kini, pertengkaran kecil antar anak berganti perang antar orangtua.
Kasus serupa, meski tidak selalu sama, boleh jadi bukan kali pertama terjadi. Kerap kali kita jumpai perselisihan antar orangtua dipicu oleh persoalan anak. Ironisnya, perselisihan antar orangtua tua itu berbuntut perang dingin dalam kurun lama. Masing-masing pihak enggan saling menyadari kesalahan. Hubungan harmonis antar sesama pun menguap entah ke mana.
Sebenarnya, jika kita mau sedikit berpikir dewasa, hal demikian sangat disayangkan terjadi. Pertengkaran antar anak sesungguhnya adalah hal wajar. Tidak usah terlalu didramatisasi, sehingga membuat keadaan semakin keruh. Sayang, tampaknya tidak semua orang dewasa mampu berpikir secara dewasa pula.
Dalam hal ini, kita patut belajar pada anak-anak. Meski sempat bertengkar, semenit kemudian, mereka kembali akur. Setelah menangis sebentar akibat rebutan mainan, misalnya, anak-anak kembali tertawa bersama. Pertengkaran mereka tidak pernah berlangsung dalam hitungan hari, apalagi bulan. Justru orangtua mereka yang sibuk dengan ego masing-masing, sehingga sukar untuk kembali akur. Bahkan, sekadar tegur-sapa pun enggan.
Sebagai orangtua, kita semestinya bisa bersikap lebih cerdas dan bijak. Ketika melihat anak-anak bertengkar atau saling mengolok-olok, ini seharusnya bisa kita jadikan pintu masuk untuk memberikan pendidikan hidup bersosial. Orangtua harus memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang cara mengelola konflik.
Dalam hidup bermasyarakat, konflik sosial mustahil dihindari. Kepada anak-anak, penting ditanamkan budaya saling mengalah dan menghargai sesama. Tidak sepantasnya orangtua menjadi setan yang mengadu domba dengan menyalahkan si teman, apalagi di depan anak.
Jika itu terjadi, berarti orangtua secara tidak sadar telah menanamkan bibit-bibit egoisme dan arogansi dalam jiwa anak. Ini berbahaya. Apalagi demi membela anak sendiri, yang belum jelas salah-benarnya, kita tidak ragu untuk bertengkar sesama orangtua.
Dari situ anak akan belajar tentang cara-cara penyelesaian masalah. Anak akan menyangka bahwa jalan keluar dari segala masalah adalah dengan jalan bertengkar, atau bila perlu beradu fisik. Inilah teladan yang menyesatkan.
Orangtua harus lebih banyak belajar tentang pola pendidikan anak. Jangan sampai, atas dasar rasa sayang, pola pendidikan kita justru menyesatkan jiwa anak. Bukankah sudah banyak kita jumpai orangtua yang merelakan anaknya putus sekolah dengan alasan sayang karena sang anak sudah tidak betah dengan sekolah?
Tidak jarang pula ada orangtua yang sendiko dawuh atas segala permintaan anak, meski permintaan itu jauh dari nilai-nilai pendidikan. Yang lebih fatal lagi, masih ada orangtua yang mengizinkan anaknya merokok karena merasa kasihan akibat sang anak sudah ketagihan. Dan ketika anak bersangkutan dihukum oleh sekolah, orangtua tidak segan-segan mendatangi dan menyalahkan pihak sekolah sembari berdalih bahwa anaknya itu merokok karena sudah mengantongi izin darinya. Luar biasa.
Maka jangan heran jika nilai-nilai kesopanan sudah semakin menjauh dari kehidupan anak. Tidak sedikit anak zaman sekarang yang sudah berani abai, bahkan melawan peraturan guru dan sekolah. Nilai-nilai tata krama tidak lagi menjadi urusan yang harus diindahkan. Sikap demikian semakin memperoleh pembenaran ketika mereka merasa mendapat dukungan dan pembelaan dari orangtua.
Akhirnya, mari kita segera mengupas diri. Sudahkah pola kasih sayang kita kepada anak-anak membuahkan nilai-nilai pendidikan, atau justru sebaliknya, melemparkan mereka ke jurang kehancuran?

February 4, 2013

Inspirasi Taubat yang Melahirkan Semangat Dahsyat

Ma'had Al-Kautsar
dakwatuna.com - Kehidupan terus berputar. Terjerembab jangan membuat mata kita terus sembab. Terpuruk tak berarti masa depan kita buruk. Terkadang kita tergerus dosa, namun jangan sampai menjadi putus asa. Ibnul Qayyim dalam kitab Madarijus Salikin mengutip ucapan salaf yang aneh terasa: ‘Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka’. Benar demikian, dosa dan kemaksiatan yang diikuti dengan pertaubatan sungguh-sungguh selalu melahirkan lompatan keimanan yang jauh lebih tinggi dari sebelum berbuat dosa. Sementara ketaatan yang diikuti rasa puas diri dan sikap jumawa akan menggerus pahala sampai titik nol yang sia-sia. Kesedihan dan penyesalan akan sebuah kesalahan adalah hal yang perlu, tapi berputus asa dan lemah semangat setelahnya adalah jauh dari sikap mereka para tokoh kesatria nan mulia.
Mari kita belajar dari sosok Nabi Sulaiman SAW, satu-satunya di dunia ini yang diberikan tiga hal yang bahkan tidak diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Tiga hal tersebut adalah kekayaan, kenabian dan kekuasaan. Namun tidak selamanya kehidupan beliau berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Ada satu episode kehidupan beliau yang bahkan dicatat dalam Al-Quran dan diperjelas dalam As-Sunnah, yang memberikan pelajaran bagi kita tentang sikap pertaubatan yang dahsyat.
Kisah ini termuat begitu lengkap dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, bagaimana suatu ketika Nabi Sulaiman begitu percaya diri mengumandangkan tekadnya: ‘Aku akan menggilir sembilan puluh sembilan istriku semalaman, yang kesemuanya akan melahirkan anak laki-laki yang berperang fii sabiilillah”. Ia merindukan generasi yang hebat, maka sebuah tekad yang dahsyat pun dilantunkan. Hanya saja pada waktu itu beliau tidak menambahkan kalimat ‘insya Allah” (jika Allah SWT berkehendak). Seorang sahabat beliau telah mengingatkan: “Ucapkan Insya Allah“. Namun beliau lalai dan tak hati-hati, terlupa nasihat sang sahabat dan langsung menjalankan apa yang ia tekadkan, menggilir istri-istrinya dalam satu malam.
Apa yang terjadi kemudian adalah episode keterpurukan dan ujian bagi nabi Sulaiman. Dari 99 istrinya tersebut, ternyata hanya seorang saja yang melahirkan bayi dan itupun dalam keadaan cacat, digambarkan dalam hadits sebagai “setengah manusia”. Maka orang-orang pun meletakkan bayi itu di atas kursi Sulaiman, dan melihat hal tersebut Nabi Sulaiman pun terpuruk, bersedih mengingat ucapannya terdahulu. Inilah yang digambarkan dalam surat Shad ayat 34 Allah SWT berfirman mengisahkan: “dan Sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan dia (anaknya) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah cacat) kemudian ia (Sulaiman) bertaubat. Bahkan Rasulullah SAW pun menambahkan saat menceritakan kisah ini, sekiranya ia (Sulaiman) mengucapkan insya Allah, niscaya setiap istrinya akan hamil dan melahirkan seorang anak yang akan berjuang di jalan Allah.
Dalam semangat yang begitu hebat untuk melahirkan generasi pejuang, nabi Sulaiman lalai dan diingatkan oleh Allah SWT. Bagi sebagian orang ini adalah kelalaian yang sangat teknis dan sederhana, namun ternyata dibalik yang kecil itulah tersimpan cara dan hikmah Allah SWT menguji dan membesarkan nabi Sulaiman. Apa yang terjadi setelahnya? Nabi Sulaiman pun bertaubat, beliau meminta ampunan sekaligus penyesalan yang mendalam di hadapan Allah SWT. Namun itu tidak disertai kesedihan yang bertalu-talu, ataupun rasa putus asa yang menggurita dalam dada, justru sebaliknya Sulaiman tahu ia sedang diuji. Maka ia pun bertaubat dengan mengajukan permohonan yang lebih dahsyat dari yang ia capai sebelumnya. Sebuah istighfar segera disusul dengan proposal untuk mendapatkan kerajaan terbesar yang pernah dikenal dalam sejarah manusia. Dengan jelas lisan Sulaiman berujar: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi“ (Shad:34-35)
Subhanallah, taubat yang melahirkan semangat dahsyat. Dalam taubatnya nabi Sulaiman terus melanjutkan cita, bahkan ia mempunyai target yang lebih kuat, lebih besar, dari yang ia miliki sebelumnya. Sebuah kerajaan yang akan senantiasa dikenang dalam sejarah tentang kebesaran dan kekuasaannya. Maka Allah SWT pun memberikan kepada Sulaiman apa yang ia cita-citakan. Angin pun dalam genggaman, para jin tunduk di hadapan, bahkan penguasa-penguasa negeri lain siap bergabung dalam keislaman.
Pelajaran besar terpatri dalam hati, mari kita bertaubat layaknya Nabi Sulaiman. Sebuah pertaubatan yang akan menjadi hentakan sejarah, untuk mencapai kemenangan dan kejayaan jauh lebih besar dari yang kita capai pada hari ini.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.

Oleh : Hatta Syamsudin