dakwatuna.com – Seseorang berkata, “Aku selfie karena ku mencintai diri ini. Dan bangga dengan yang Allah karuniai pada diri”
Salahkah
kita mencintai diri kita ? Tak layak kah menampakan rasa syukur itu
kepada khalayak umum ? bukankah menampakan keceriaan, senyuman merupakan
sebuah shodaqoh ? lantas mengapa mesti repot hati-hati dengan selfie ?!
Sahabat,
tidaklah salah seseorang yang mencintai dirinya. Rasulullah SAW
mengajarkan kita Thoharoh (bersuci), menggunakan wewangian, dan
berprilaku yang sopan merupakan agar kita bisa mencintai diri kita
dengan sebagaimana mestinya. Dan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang
senantiasa bersyukur atas nikmat, bahkan Allah berjanji akan
melipatgandakan nikmat kepada ia yang bersyukur.
Terkadang,
hati ibarat kapas yang mudah terbolak-balikan oleh angin. Dan terkadang
pula hati bagai mangrove yang kuat walau dihempas ombak dan badai
berkali-kali. Hingga Rasulullah pun selalu berdoa “Ya Allah, wahai zat
yang membolak-balikkan hati, kuatkanlah hati ku agar senantiasa taat
kepada-Mu”. Inilah hati yang harus kita jaga, agar tak ada penyesalan di
kemudian hari.
Penyair cinta
mengatakan “Dari mata turun ke hati”. Seperti inilah tabi’at manusia
yang mudah terpesona keindahan. Mengagumi kesempurnaan yang terlihat
oleh pandangan. Tak sedikit yang menjadi korban ‘pandangan’ lantas Iman
pun terabaikan. Tak sedikit yang menjadi korban hingga kehormatan rela
di campak kan. Dan tak sedikit pula yang menjadi korban hingga akhirnya
keluarga berantakan. Kawan menjadi lawan, hilangnya manisnya
persaudaran, dan runtuhnya benteng keimanan.
Sungguh
Allah Maha pengasih dan Maha penyayang. Dalam Firman-Nya, mewanti-wanti
hamba-Nya baik itu pria atau wanita untuk senantiasa menjaga pandangan
agar tak berujung penyesalan. ”Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (QS. An-Nur : 30)
Kita
memahami bahwa tak akan ada asap bila tak ada api. Maka tak akan ada
yang dipandang bila tak ada yang tampak tuk dipandang. Di era informasi
kini selfie seakan menjadi tradisi. Para gadis bergaya manis agar eksis.
Edit sana-sini supaya tampak sempurna di mata manusia. Dan peria
bergaya gagah agar tampak ‘WAH’. Di sinilah setan menjalankan
strateginya.
Berawal dari memberi
‘like’ pada hasil selfinya dan akhirnya ‘like’ pada pemilik foto.
Berawal dari memberi komentar pada foto hasil selfinya hingga berujung
mengomentari keseharian pemilik foto. Bila sudah seperti ini maka
hatilah yang menjadi korban. Riang gembiralah setan strateginya berjalan
lancar.
Hati-hati selfie bila tak
ingin sakit hati. Maksud hati mempublikasi keceriaan, justru malah bisa
menjadi strategi setan menjerumuskan. Membutakan hati untuk mencintai
lawan jenis yang belum pantas dicintai. Terjebak dalam rekayasa cinta yang penuh dengan dusta karena di buat makhluk pendusta sepanjang masa yakni setan.
Ialah
Uwais Al Qorni, sosok sahabat yang sungguh menakjubkan. Dirinya tak di
kenal di dunia sebab ia miskin di mata manusia. Namun, sungguh
menakubkan ternyata ia mulia di sisi Allah SWT. Hingga ia selalu menjadi
perbincangan para malaikat pencatat kebaikan.
Kini
pilihan itu ada pada kita. Tetap menampilkan pesona ‘selfie’ tuk
pujian. Ataukah menjaga pesona akhlaq kita agar diri ini menjadi
perbincangan para penghuni langit yang mencatat kebaikan. Semoga Allah
melindingi kita dari segala fitnah dan mengistiqomahkan dalam kebaikan. (dakwatuna.com/hdn)
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya