August 5, 2016

Difabel Pecinta Alquran

republika.co.id | Keajaiban itu muncul dari Bandung. Seorang bocah pengidap Cerebral Palsy mampu mengkhatamkan hafalan Alquran hingga 30 juz. Kemampuan Fajar Abdurokhim Wahyudiono untuk menghafal dinilai istimewa. Fajar mampu menjadi hafiz di tengah terganggunya fungsi otak dan jaringan sarafnya sejak lahir.

Putra pasangan Heny Sulistiowati dan Joko Wahyudiono ini lahir pada 2004 lalu. Dia lahir prematur pada usia kandungan 7,5 bulan dengan berat badan hanya 1,6 kilogram. Namun, Heni dan suaminya bertekad memberikan yang terbaik untuk putranya. Dengan sabar ayahnya selalu membacakan Alquran setengah juz pada pagi hari dan setengah juz pada malam hari sejak masih berada di inkubator.

"Kami berusaha untuk memberikan lingkungan yang terbaik untuknya. Di rumah, saya dan suami sepakat memutarkan tilawah 24 jam agar dia selalu mendengar yang baik-baik saja tanpa terpikir dia akan hafal Alquran" cerita Heni beberapa waktu lalu.

Pada usia ketiga, Fajar baru dapat berbicara, namun yang keluar dari bibirnya seringkali berupa potongan-potongan ayat Alquran. Pasangan tersebut lalu memanggil seorang guru untuk mengajarkan dan membimbing Fajar. Hasilnya, Fajar hafal 30 juz Alquran di usia 4,5 tahun dengan hafalan yang sangat kuat.

"Aku ingin menjadi Imam Masjidil Haram," jawab Fajar ketika ditanya apa cita-citanya. Pada musim haji tahun 2015 ini Fajar mendapat undangan khusus dari kerajaan Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Pemerintah Arab Saudi memberikan undangan untuk Fajar, kedua orang tuanya dan dua orang pengasuh. Tidak hanya itu, Fajar diberi hadiah uang sebesar 200 dolar AS perbulan selama satu tahun.

Keterbatasan fisik bukan penghalang untuk mencintai Alquran. Kondisi fisik yang berkebutuhan khusus bukan berarti membuat kaum difabel minder membaca Alquran. Terlebih, pada pada bulan puasa seperti ini, dimana Alquran diturunkan.

Di Medan, Sumatra Utara, tadarus Alquran dilakukan para difabel netra. Salah satunya di kantor Persatuan Tunanetra Indonesia Sumatra Utara (Pertuni Sumut) Medan. Di tempat tersebut, puluhan difabel netra tampak khusyuk melaksanakan tadarus Alquran, Kamis (9/6) pagi.

Jari-jari mereka lincah bergerak meraba huruf braille pada Alquran yang ada di depan mereka. Suasana khidmat pun terasa memenuhi dua ruangan yang digunakan untuk tadarus. Ayat demi ayat Alquran dibacakan dengan khusyuk. Seorang guru yang juga difabel netra memandu kegiatan tadarus tersebut. Dia menyimak dan mengoreksi bacaan peserta tadarus.

"Harapan saya untuk tetap bisa mengamalkan Alquran ini. Tidak sulit membaca Alquran braille, asal ditekuni," kata Ismar Yakub, salah seorang peserta tadarus.

Tadarus yang rutin digelar setiap Kamis ini merupakan program tahunan Pertuni Sumut pada bulan Ramadhan. Kegiatan tadarus dimulai pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB atau sebelum shalat Zuhur.

Ketua DPD Pertuni Sumut, Khairul Batubara mengatakan, pada Kamis pertama di bulan Ramadhan ini, hanya 28 anggota yang mengikuti tadarus Alquran. "Sebenarnya total di Sumut ada 120 orang yang sudah bisa membaca Alquran huruf braille. Namun, yang menyatakan akan hadir 40 orang. Dari 40 orang itu ada yang tidak hadir karena enggak ada ongkos transportasi buat kemari," jelas Khairul.

Ia mengatakan, Alquran braille yang digunakan merupakan bantuan dari para donatur. Selain tadarus, Pertuni Sumut juga memiliki program membaca Alquran di rumah masing-masing. "Kita juga ada program satu juz satu hari. Ada 38 anggota yang mengikuti program ini," katanya.

Dedikasi sebagai pecinta Alquran juga dibuktikan Osep Rohyana, ustaz penyandang disabilitas yang melahirkan hafiz-hafiz Alquran. "Saya ingin semua orang bisa hafal Alquran," kata Osep kepada Republika, Senin (20/6).

Difabel daksa ini merupakan salah satu pengajar di Pondok Pesantren Al Kautsar, Banjar, Jawa Barat, yang memang bertugas melahirkan para hafiz.  Keterbatasan fisik lantaran tidak memiliki sepasang kaki tak membuat Osep minder. Terbukti, tidak kurang 58 hafiz Alquran di Pondok Pesantren Al Kautsar telah ia hasilkan.

Pada Ramadhan kali ini, Osep menargetkan sepuluh santrinya untuk dapat menghafalkan 30 juz Alquran hingga menjelang Idul Fitri. Targetnya bukan tanpa alasan. Osep menyebut, para santrinya mampu melebihi target level tahfiz.

Untuk menjadi seorang hafiz, Osep menerapkan tiga level, mulai dari  pratahsin, tahsin dan tahfiz. Level pertama ditunjukkan bagi santri yang belum bisa membaca Alquran, dengan kegiatan yang ditargetkan akan selesai dalam kurun waktu tiga bulan, sebelum memasuki level tahsin.

Selanjutnya, ada tahapan tahsin, dengan target awal santri mampu menghafal satu juz selama satu tahun, dan akan diakumulasikan menjadi tiga juz dalam kurun waktu tiga tahun. Terakhir, santri akan memasuki tahapan tahfiz yang akan fokus menghafal Alqur'an selama tiga tahun dengan target hafalan sebanyak lima juz.

Pria yang mulai mengajar sejak  1998 tersebut, meyakini anak-anak yang sejak dini sudah menghafal Alqur'an, memiliki benteng kokoh. Era globalisasi yang terus dipenuhi godaan-godaan duniawi tak akan menjadi  berarti apabila santri-santri memiliki pemahaman Alqur'an.

Selain itu, ia yakin santrinya tidak akan mengalami kesulitan berarti untuk menjadi penghafal Alquran. Dia memegang teguh apa yang Allah SWT  janjikan, kalau Alquran memang akan mudah untuk dihafalkan bagi siapa saja yang ingin menghafalkannya. "Janji Allah, Alquran akan mudah dihafalkan, dan anak yang sejak dini hafal, insyaAllah akan terbentengi ahlaknya," ujar Osep.

Tentang keterbatasan fisik Osep, pria kelahiran Ciamis 17 Mei 1980 tersebut memang sudah menjadi Difabel Daksa sejak lahir. Keterbatasan fisiknya sejak kecil justru menjadi salah satu guru paling berjasa, yang memberinya keyakinan diri untuk membuktikan keraguan orang-orang.

Sejak Sekolah Dasar (SD), Osep memang tidak memilih SD berkebutuhan khusus, ia memilih bersekolah di SD reguler dan berbaur dengan banyak orang. Tantangan itu semakin berat, ketika para guru dan kepala sekolah tempatnya menimba ilmu, sempat memiliki keraguan dan menyarankannya untuk masuk ke sekolah berkebutuhan khusus.

Sang ibu, menjadi motivator terbesarnya. Dia tak ragu Osep akan mampu menjalani pelajaran dengan baik dan berprestasi, atau bahkan mampu melebihi anak-anak yang lain. Alhasil, Osep selalu mampu menjadi juara kelas, sampai ia benar-benar menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di tempat tersebut.

Lulus SD, dia pun mondok di Pondok Pesantren Al Kautsar, tempat yang ia tidak pernah duga akan menjadi tempatnya mengajar sebagai pengajar. Kala itu, ia mengungkapkan perlakuan orang-orang di pesantren justru di luar ketakutannya. Mereka malah memberinya motivasi untuk tidak menyerah. Dia bahkan dapat meneruskan pendidikan formalnya dengan mengambil paket B dan C, sampai benar-benar meluluskan pendidikan formal yang memang layak ia dapatkan.

Osep mengatakan semua yang terjadi di hidupnya memang tidak terduga, termasuk saat ia mengenang kelulusannya sebagai sarjana dari STIT Muhammadiyah. Ia yang sempat bercita-cita sebagai pengusaha, kini memiliki impian yang lebih besar. Menjadikan ilmu-ilmu yang ia dapatkan bermanfaat, termasuk dengan melahirkan hafiz-hafiz Alquran.

rep: Esty Maharani, Wahyu Suryana, ed: A Syalaby Ichsan

Ma'had Al-Kautsar

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.